Sadikin Bukan Pelukis Biasa


Sadikin Pard sedang melukis dengan kaki di pedepokannya sendiri di jalan Selat Sunda Raya,(29/01)./ Abhiewardana





Sejatinya, Tuhan tidak menciptakan produk yang gagal. Sama halnya Sadikin Pard (54) pria Asal Malang  yang sejak lahir dianugrahi tangan yang tidak sempurna, dengan kekurangannya ia tidak pesimistis dalam menjalani hidupnya. Bahkan Sadikin sudah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah kendala untuk mencapai kesuksesan. Sadikin menetap di Jl. Selat Sunda Raya D5/35, Kota Malang.

Pria kelahiran 29 oktober 1996 itu mulai melukis sejak taman kanak-kanak. Saat itu ia melukis hanya sebatas hobi. Sadikin juga sempat les melukis secara privat dirumahnya. Hingga mengenyan pendidikan sekolah menengah atas di SMA  Santa Maria Kota Malang, ia masih tetap melukis sebagai hobi. Ditengah keterbatasannya,, Sadikin lalu melanjutkan ke pendidikan tinggi
 Universitas Muhammadiyah Malang ( UMM).

Saat itu, Sadikin memilih jurusan psikologi pascagagal mengambil jurusan arsitek, sebuah profesi yang . Menginjak semester 3 pada tahun 1989, ia mendapatkan informasi dikoran bahwa ada pelukis difabel sama sepertinya yang sukses melukis dengan kaki.

Pada tahun itu juga, ia terinspirasi dan melukis, menciptakan karya menggunakan kakinya, lalu mengirimkan karyanya ke Association Of Mouth And Foot Painting Artist (AMFPA). Sebuah organisasi yang bermarkas di Swiss dan menghimpun karya pelukis yang menggunakan mulut atau kaki.

“Tahun 1989, saat itu masih semester 3 saya daftar sebagai pelukis AMFPA” katanya,(29/01/2019).

“Karena gagal di psikologi saat itu, saya jadikan melukis sebagai profesi”, lanjutnya.

Saat tergabung dalam AMFPA membuat sadikin menjaga kualitas lukisannya, setiap tahun ia harus mengirimkan 12 karyanya.

“Saya sudah dibayar di AMFPA, Waktu itu saya diberi 300 Swiss franc, setara 300 ribu.” Ujarnya..

Kemanpuan melukis sadikin terus tumbuh karena kualitas karyanya. Sehingga perlahan-lahan nama sadikin mulai dikenal karena kualitas karyanya.Bukan karena ia tak memiliki tangan, sebagai pelukis.
Sadikin juga kerap mengikuti pameran dari beberapa negara yang diselenggarakan. Ia juga memamerkan karyanya dibeberapa wilayah di Indonesia untuk memperlihatkan kualitas karyanya.

Upanya berhasil. Karyanya laku dengan harga yang tidak murah, bahkan ada lukisannya seharga 250 Juta. Sibuk dengan melukis membuat sadikin harus menyampingkan kuliahnya.

“Saya kuliah sampai semester 8, karena harus berbagi tugas. Kebutulan saya dilahirkan oleh orang tua kurang mampu, jadi saya haruus membiayai uang kuliah dengan hasil lukisan saya. Dengan rela saya melepas gelar sarjana. Saat ini saya menyesal tapi mau diapalagi waktu itu orang tua kurang mampu”. Ujarnya sembari tersenyum.

Banyak faktor yang mempengaruhi rasa optimisme dalam diri Sadikin meski hidup dengan segala kekurangan salah satunya, faktor agama yang dianutnya. Ia menganggap segala yang ada pada dirinya adalah amanah dari Tuhan untuk dimanfaatkan bagi makhluk lainnya.

“Saya percaya Allah itu ada dan maha adil .semua yang diberikan ini adalah amanah yang harus saya manfaatkan sebaik mungkin, ujarnya.

Selain itu, karena kodratnya sebagai lelaki dan harus menafkahi keluarganya.
“Saya sudah beristri dan memiliki 2 anak laki-laki, tentunya saya berkewajiban menafkahi mereka”, ujarnya.

Saat ini, sadikin telah memiliki pedepokan, dan rumahnya sementara direnovasi. Ada juga 3 mobil pribadi, 2 motor pribadi, semua itu penghasilan dari karya lukisannya.  Dibalik kesuksesannya tentunya ada sosok perempuan hebat dibelakangnya yang menjadikannya mandiri hingga saat ini, terutama Ibunya, Sarmi.

Sosok perempuan yang sederhana itu sangat membekas dihati sang pelukis tanpa lengan itu. Sebab sarmi selalu memotivasi dirinya. Bahkan, Sadikin  anak kedelepan dari sembilan bersaudara dan satu-satunya yang tunadaksa,tidak pernah diperlakukan istimewakan oleh orang tuanya.

“Ibu bagi saya guru pertama, sebagai motivator yang berperan penting dalam diri saya, sebab semua anaknya tidak ada yang dimanjakan termasuk saya, kalau saya salah pasti diberi hukuman.

Selain ibunya, ia juga bersyukur memiliki pendamping hidup yang setia, menerimanya  apa adanya dengan segala keterbatasan seperti tini.

“Saya bersyukur, saya pikir semua ini pemberian Allah diberi istri yang sayang, setia pada saya dan kedua anak.

Pewarta Moch Farabi Wardana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar