Inilah Keluarga Saya yang Sebenarnya

Tulisan Oleh : Ardhy Barthez



Malam senyap di kamar penuh gemuruh alunan musik Bossanova di sebuah kontrakan. Saya masih dengan Mild ini bermain-main kepulan asap. Di komputer seorang kawan yang memang brekele, satu persatu folder-folder saya jelajahi. Klik per klik, saya sampai di album yang membuat saya sedikit masuk ke dalam imajinasi, sedikit terharu banyak bangga. Folder yang isinya foto-foto saudara/i IKAMI Sulsel Cabang Malang dan segala aneka ragam warna dan gayanya. Komplit dari A-Z. Banyak keunikan disini, ada lucu dan membuat saya sedikit memutar waktu ke belakang untuk kemudian mengingat masa cemerlang saat itu. And the nice stories begin...

IKAMI Sulsel Cabang Malang. Mungkin inilah organisasi pertama yang benar-benar organisasi yang saya masuki, saya dasarkan atas yang Ber-AD/ART; punya kitab suci sendiri. Di samping banyak juga organisasi/komunitas tempat saya berbaur, sekadar hura-hura dan huru-hara tanpa henti membunuh waktu. Whatever... Di sini (Ikami Sulsel-red), saya banyak dan banyak belajar kehidupan organisasi dengan segala seluk beluk urusan dapurnya. Tentang apa yang dinamakan mekanisme, rules, cara ini cara itu, prosedur ini itu, manufaktur kreativitas yang memang sudah di atur sedemikian apik. Yah, saya sedikit profesional lah jadinya. Hehehe.. :). Tentu, semua ini demi meluapkan harapan, mengejar cita dan menebus mimpi. Ini salah satu yang saya dapat.

Di samping itu, yang paling membuat saya harus-harus standing applause adalah kekeluargaan di sini. Pernah saya duduk ngobrol santai dengan kawan yang masih brekele. Kepada saya dia bilang,”inilah keluarga kamu yang sebenarnya disini..!”, lalu dengan khusyuknya menikmati kopi yang amat sangat hitam. Saya mengamini katanya. Yahh... betul sekali, di sini kita sama-sama merasakan suka dan sama-sama pula berbagi duka di ranah rantau. Kala di antara kita ada yang sakit, ada masalah ini itu, yang paling pertama merasakan adalah saudara kita, keluarga kita di IKAMI Sulsel ini. Seperti analogi kesatuan tubuh, salah satu anggota tubuh sakit, seluruh badan ikut merasakan. Bukan suatu omong tapi kosong, dan itu memang real!!! 


Dengan hati telanjang saya berpikir akan benar adanya. Saling berbagi. di balut spirit Siri na Pacce’, saya sangat merasakan alangkah banyaknya saling berbagi disini. Insya Allah Chemistry Siri na Pacce’ yang kawan-kawan yakini itu hakiki, sejati dan berkemanusiaan. Tidak salah menafsirkan Siri na Pacce’, yang kemudian menjerumuskan pikiran kita suram buram, mengkerdilkan jiwa. Terlintas di pikiran saya, “pauno siri', ma'palete pesse' ri pa'masareng esse' (kehormatan bisa menyebabkan kematianmu, dan rasa iba bisa membawamu ke alam baka).

Puji syukur Alhamdulillah. Lagi-lagi saya banyak belajar saling berbagi disini. Keikhlasan memberi, saling mengisi begitu terasanya tiada tara. Ada yang kurang, diberi! Ada yang lebih, memberi! ”Memberi itu terangkan hati Seperti matahari yang menyinari bumi..”, Saya kutip sebagian lirik seorang guru Imajiner saya, Bang Iwan Fals. Sense of belonging begitu kental ramah menyapa. Selalu bahu membahu menjaga, menyemangati, men-support di banyak hal ruang dan waktu.. Come on Baby light My Fire, sahut nabi Jim Morrison. Layaknya sebuah keluarga ideal versi saya.

Banyak juga hal yang menarik menghiasi frame di sini. Salah satunya yaitu dinamika bertukar pikiran secara elegant nan cantik. Di samping kisah kasih romansa, yang juga cukup unik. Hehehe..:D Banyak arena diskusi yang membongkar pola pikir dan Mengubah alam kreativitas berpikir otak ini. Yang sungguh berjasa menambah ruang khazanah ilmu pengetahuan di belantara otak ini. Dan tentu sedikit bumbu-bumbu agamis, sebagai peta menuju jalan Ilahi nantinya. Hehehe..

Terlalu banyak kisah berlabuh dengan indah disini, tak bisa terurai satu per satu. Mungkin kendala otak yang mulai di radang error syndrome. Hahaha..Terlepas dari berjuta minus saya, saya amat sangat berterima kasih kepada keluarga saya, Keluarga besar IKAMI Sulsel cabang Malang. Banyak jawaban yang selama ini saya cari, saya temukan disini. Hari ini kisahmu abadi, tercatat dengan kata sakti menjadi benih yang murni di dalam diri ini. Inilah keluarga saya yang sebenarnya…


“…Jika Tua Nanti kita tlah Hidup Masing-masing Ingatlah Hari ini...”

Ketidakberdayaan Perempuan Dalam Bingkai Budaya dan Sejarah


 Tulisan Oleh : Fitry Firlia Sari

Sejarah selalu menceritakan kepada kita
Walaupun Negara ini besar
Namun kehidupan kami sangatkecil
Kerena kami hanya merasaaman
Di gelembung masing-masing……

Jika kita melihat kembali catatan sejarah perjalanan kehidupan umat manusia, sejak bertahun-tahun bahkan berangkat dari beberapa abad silam, wanita mana pun selalu memiliki sekat dengan pria dengan alasan perbedaan alamiah dan pemberian  citra sebagai kaum ibu semata yang berada di bawah kungkungan kaum laki-laki. Dalam berbagai sudut pandang perempuan acapkali dianggap sebagai kaum “Lemah” dan hanya bisa berlindung di bawah ketiak laki-laki si kaum “penguasa”. Namun dalam pembahasan kali ini kita tidak membahas mengenai diskriminasi gender dalam Bibel di Amerika, perbudakan perempuan di India seperti yang diutarakan seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India bernama  Mahatma Ghandi dalam bukunya yang berjudul “Kaum perempuan dan ketidakadilan sosial” ataupun beberapa kasus penindasan kaum perempuan di Negara-negara lain. Namun kita akan lebih banyak membahas mengenai beberapa rentetan masalah pengalaman masa lalu dan ketidakberdayaan “Kaum mayoritas tertindas”  si kaum perempuan yang terjadi Di Negara kita sendiri, yaitu INDONESIA yang katanya “Tercinta”. Sebelum kita terjerumus dalam perdebatan mengenai kesenjangan gender yang tak jelas ujung pangkalnya, marilah kita terlebih dahulu menyimak beberapa hal yang akan menjadi pusat pembahasan kita kali ini.

Dalam tataran lebih dalam atau pada tataran khazanah nirsadar kolektif, kaum perempuan di Indonesia sebenarnya mengalami banyak pengalaman kuno atau dalam bahasa psikoterapi disebut Archeid. Pengalaman kuno disini yang dimaksudkan adalah hidup yang kurang melindungi martabat atau melindungi kehidupan. Intinya tidak menghargai kehidupan.

Mengingat Zaman Orde Baru, jejak kekerasan terhadap perempuan dengan latar politik membentang terutama di daerah-daerah konflik. Di Aceh, Timor Leste, hingga Papua, berderet kisah menyesakkan, paraperempuan yang dilecehkan, diperkosa tentara dan ditinggal begitu saja. Tak terhitung pula yang akhirnya dibunuh guna menutup rapat bau anyir kekejaman ini. Belum kering dari ingatan kita, perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, sebagaimana hasil penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), yakni tim penyelidik yang dibentuk untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Para korban ini harus memikul luka batin yang begitu dahsyat, sepanjang hidupnya. Tak terbayangkan pula goresan luka yang dialami para aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang dituding oleh rezim Orde Baru terlibat dalam Gerakan 30 September yang membunuhi jenderal-jenderal. Mereka disiksa dan dilecehkan bahkan Salah seorang yang bersikukuh menolak fitnah tersebut, dihajarhabis-habisan.

Demikian lukisan Beberapa rentetan kasus penindasan yang membabi buta terhadap kaum perempuan seperti yang dijelaskan diatas bukanlah hal sepele yang  mungkin telah dilupakan oleh sebagian orang. Inilah catatan fakta sejarah yang tak akan pernah terlupakan dalam benak kita khususnya bagi kaum perempuan.

Indonesia telah lama merdeka, yang menurut kamus ensiklopedi THE NEW YORK STRAIT TIMES bahwa Kemerdekaan (Independence) berarti: keadaan bebas dari penghambaan. Kemudian timbul sebuah pertanyaan“ Benarkah kita telah seutuhnya merdeka? Jawabannya adalah jika kemerdekaan itu hanya dinikmati sebagian orang saja sedang yang lain masih dibawah tekanan dan penindasan, itu bukanlah sebuah “Kemerdekaan” melainkan “Penjajahan”. Maksud kasarnya adalah“ Kemerdekaan buat yang laki-laki dulu aja yah, mengenai perempuan dan embel-embelnya nanti gampanglah !!”. Mereka lupa bahwa kaum perempuan juga dulunya berada di garis depan untuk melawan colonial dalam mencapai Kemerdekaan !! Jika ditinjau dari hasil pengamatan diatas, jelaslah sekarang bahwa pembatasan hak, penekanan, dan penindasan terhadap kaum perempuan yang tak kunjung usai tak ubahnya seperi “Penjajahan yang terulang”.

Pengalaman kuno yang dipenuhi intrik, penindasan, dan penguasaan terhadap kaum perempuan inilah  yang menjadi cikal bakal munculnya Gerakan feminisme yang diadopsi dari Eropa. Gerakan feminisme di Indonesia adalah gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antarsesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil tanpa pembatasan hak bahkan dalam perpolitikan sekalipun. Gerakan feminisme bukannya gerakan untuk menyerang laki-laki yang selama ini menjadi alasan bagi kaum laki-laki untuk menolak Feminisme. Akan tetapi Feminisme merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki. Gerakan perempuan ini merupakan gerakan tranformasi  sosial yang bersifat luas, yang merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku dimasyarakat. Perlu kita ketahui bersama bahwa perempuan adalah bagian dari negara iniyang dalam artian bahwa perempuan juga harus merasa “ MERDEKA”.


CERITA DI SORE HARI

Tulisan Oleh : Tomy Rahmatwijaya 
                       


Senja sore hari di bawah payung kota Malang mengingatkanku akan sebuah janji-janji yang keluar dari mulut ini. Janji-janji kepada orang yang meliharkan dan merawatku akan sebuah perjuangan dan cita-cita. Mungkin sudah menangis melihatku seperti ini. Aku yang selalu banyak omong, berbasa-basi depannya, atau mungkin membohongi kedua orang itu.

Senja saat ini menyandarkanku pada dinding batu tempatku beristirahat. Aku menutup mata, terjaga sejenak dan mengingat kembali omong kosong yang telah ku lakukan. Sejenak aku berpikir untuk pulang ke kampung halaman dan menghilang dari jejak-jejak perantauan ini. Tidak !! Itu bukan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah ini. Pulang bukanlah jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah ini.

Aku kemudian keluar ke dunia yang tak kenal logika. Melihat kiri-kanan, yang membuatku seperti orang tolol. Kulihat kursi taman yang berada di pojokan. Aku duduk sambil menyilangkan kaki dan bersender pada kursi itu.

Tidak ada aktifitas yang berarti terjadi di hadapanku. Melihat sepasang kekasih bergandengan tangan atau anak kecil yang bermain bersama orang tuanya di taman ini. Setiap orang sepertinya sibuk dengan kesenangan masing-masing dan melupakan urusan yang lain.

Kulihat danau dengan airnya yang tenang bersama dengan angsa-angsa menari diatasnya. Mengingatkanku akan harmonisasi keluarga yang dipenuhi dengan kehangatan. Diselimuti dengan rasa kekeluargaan yang kuat.

Awal perjalananku, melayang diatas laut yang menyambung Jawa dan Sulawesi, sangat bersemangat mencari ilmu sampai ke seberang pulau. Mencari jatidiri, dan mencari arti kehidupan. Tapi seiring dengan berjalannya detik jam dan bergantinya hari, semua yang kujalani ini seperti sia-sia. Bukannya tanpa sebab, aku mengingkari sebuah komitmen awalku sebelum ini. Belajar dengan tekun, tapi sudah menjadi takdir alam seperti ini.

Menyesal !!! Mungkin itu kata yang paling tepat menggambarkan sketsa yang ada di kepalaku saat ini. Ujian Tengah Semester hari ini aku tidak masuk. Aku sekarang menjadi seolah menjadi anak yang paling tidak berguna. Hanya membuang uang yang diberikannya setiap bulan. Mengantarku terhadap rasa bersalah yang sangat hebat.

Ujian siang hari masih bisa aku layani. Meskipun dengan terseret-seret, tapi mungkin gaya gravitasi di tempat tidurku sangat kuat sehingga sulit untuk mengangkatku bahkan ke kamar mandi yang berada tepat di samping kamarku.

Kemarin aku sudah mendapat lampu kuning. Peringatan yang menandakan aku masih disayang olehnya. Peringatan yang kapan saja bisa langsung melemparkanku ke kampung halaman. Masih adakah kesempatan yang sudah diberikan olehku terjadi lagi tahun ini ??? Hanya mereka yang tahu jawabannya. Orang yang telah bersusah payah mengirimku kesini.

Jika berpikir sejenak, sangat besar besar beban yang dirasakan pemuda ini. Seakan alam menuntutku untuk menjadi manusia yang produktif. Dan dunia yang bekerja keras setiap hari sangat kontras dengan karakterku yang malas. Malas seakan sudah menjadi penyakit dalam diriku. Sempat terbersit di benakku akan melewati lorong waktu dan menjadi anak kecil lagi. Anak yang belum tahu kerasnya dunia, anak yang belum mempunyai tanggungjawab yang besar, dan anak yang hanya ingin bermain.

Bermain sepak bola di lapangan bersama teman-teman masa kecilku. Menggiring dan menggocek bola dengan senangnya sampai membobol gawang lawan. Atau mungkin bermain main layang-layang di padang rumput yang terhampar luas yang tepat berada di belakang rumahku.

Cukup !!! Berhentilah mengigau. Jangan berpikir untuk menjadi anak-anak lagi, aku sudah dewasa !!! Ketika aku berpikir untuk kembali ke masa kanakanku, itu tidak mungkin. Tetapi jika tetap terus memaksa, aku akan menjadi seorang pemuda yang bersifat kekanak-kanakan.

Melihat teman-teman kuliahku yang lain, seolah dikejar oleh bom waktu yang siap meledak kapan saja jika tidak lulus dengan waktu normal. Saat melihat teman-temanku berjuang untuk dirinya, aku seperti hanya seekor siput yang berjalan lamban dan hanya bisa melihati mereka semua bekerja.

Ibuku pernah mengatakan, "Tidak ada kata terlambat untuk belajar". Yang diejawantahkan itu terlambat belajar hanyalah orang-orang yang sudah mati. Ibuku pun saat ini masih belajar, entah belajar tentang apa. Pertanyaannya sekarang bukan masalah belajarnya, tapi lulus dari kampus. Sampai kapan aku menjadi budak intelektual, itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh aku sendiri. Orang yang menjalaninya.

Sayangnya, tidak ada orang yang mau terlalu mengerti dengan keadaanku seperti ini. Senja akan segera berlalu. Semoga dilema saat ini menjadikanku manusia yang terus bisa berpikir.