Tulisan Oleh : Tomy Rahmatwijaya
Senja sore hari di
bawah payung kota Malang mengingatkanku akan sebuah janji-janji yang
keluar dari mulut ini. Janji-janji kepada orang yang meliharkan dan
merawatku akan sebuah perjuangan dan cita-cita. Mungkin sudah menangis
melihatku seperti ini. Aku yang selalu banyak omong, berbasa-basi
depannya, atau mungkin membohongi kedua orang itu.
Senja saat
ini menyandarkanku pada dinding batu tempatku beristirahat. Aku menutup
mata, terjaga sejenak dan mengingat kembali omong kosong yang telah ku
lakukan. Sejenak aku berpikir untuk pulang ke kampung halaman dan
menghilang dari jejak-jejak perantauan ini. Tidak !! Itu bukan solusi
yang baik untuk menyelesaikan masalah ini. Pulang bukanlah jalan
satu-satunya untuk keluar dari masalah ini.
Aku kemudian keluar
ke dunia yang tak kenal logika. Melihat kiri-kanan, yang membuatku
seperti orang tolol. Kulihat kursi taman yang berada di pojokan. Aku
duduk sambil menyilangkan kaki dan bersender pada kursi itu.
Tidak
ada aktifitas yang berarti terjadi di hadapanku. Melihat sepasang
kekasih bergandengan tangan atau anak kecil yang bermain bersama orang
tuanya di taman ini. Setiap orang sepertinya sibuk dengan kesenangan
masing-masing dan melupakan urusan yang lain.
Kulihat danau
dengan airnya yang tenang bersama dengan angsa-angsa menari diatasnya.
Mengingatkanku akan harmonisasi keluarga yang dipenuhi dengan
kehangatan. Diselimuti dengan rasa kekeluargaan yang kuat.
Awal
perjalananku, melayang diatas laut yang menyambung Jawa dan Sulawesi,
sangat bersemangat mencari ilmu sampai ke seberang pulau. Mencari
jatidiri, dan mencari arti kehidupan. Tapi seiring dengan berjalannya
detik jam dan bergantinya hari, semua yang kujalani ini seperti sia-sia.
Bukannya tanpa sebab, aku mengingkari sebuah komitmen awalku sebelum
ini. Belajar dengan tekun, tapi sudah menjadi takdir alam seperti ini.
Menyesal
!!! Mungkin itu kata yang paling tepat menggambarkan sketsa yang ada di
kepalaku saat ini. Ujian Tengah Semester hari ini aku tidak masuk. Aku
sekarang menjadi seolah menjadi anak yang paling tidak berguna. Hanya
membuang uang yang diberikannya setiap bulan. Mengantarku terhadap rasa
bersalah yang sangat hebat.
Ujian siang hari masih bisa aku
layani. Meskipun dengan terseret-seret, tapi mungkin gaya gravitasi di
tempat tidurku sangat kuat sehingga sulit untuk mengangkatku bahkan ke
kamar mandi yang berada tepat di samping kamarku.
Kemarin aku
sudah mendapat lampu kuning. Peringatan yang menandakan aku masih
disayang olehnya. Peringatan yang kapan saja bisa langsung melemparkanku
ke kampung halaman. Masih adakah kesempatan yang sudah diberikan olehku
terjadi lagi tahun ini ??? Hanya mereka yang tahu jawabannya. Orang
yang telah bersusah payah mengirimku kesini.
Jika berpikir
sejenak, sangat besar besar beban yang dirasakan pemuda ini. Seakan alam
menuntutku untuk menjadi manusia yang produktif. Dan dunia yang bekerja
keras setiap hari sangat kontras dengan karakterku yang malas. Malas
seakan sudah menjadi penyakit dalam diriku. Sempat terbersit di benakku
akan melewati lorong waktu dan menjadi anak kecil lagi. Anak yang belum
tahu kerasnya dunia, anak yang belum mempunyai tanggungjawab yang besar,
dan anak yang hanya ingin bermain.
Bermain sepak bola di
lapangan bersama teman-teman masa kecilku. Menggiring dan menggocek bola
dengan senangnya sampai membobol gawang lawan. Atau mungkin bermain
main layang-layang di padang rumput yang terhampar luas yang tepat
berada di belakang rumahku.
Cukup !!! Berhentilah mengigau.
Jangan berpikir untuk menjadi anak-anak lagi, aku sudah dewasa !!!
Ketika aku berpikir untuk kembali ke masa kanakanku, itu tidak mungkin.
Tetapi jika tetap terus memaksa, aku akan menjadi seorang pemuda yang
bersifat kekanak-kanakan.
Melihat teman-teman kuliahku yang lain,
seolah dikejar oleh bom waktu yang siap meledak kapan saja jika tidak
lulus dengan waktu normal. Saat melihat teman-temanku berjuang untuk
dirinya, aku seperti hanya seekor siput yang berjalan lamban dan hanya
bisa melihati mereka semua bekerja.
Ibuku pernah mengatakan,
"Tidak ada kata terlambat untuk belajar". Yang diejawantahkan itu
terlambat belajar hanyalah orang-orang yang sudah mati. Ibuku pun saat
ini masih belajar, entah belajar tentang apa. Pertanyaannya sekarang
bukan masalah belajarnya, tapi lulus dari kampus. Sampai kapan aku
menjadi budak intelektual, itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh
aku sendiri. Orang yang menjalaninya.
Sayangnya, tidak ada
orang yang mau terlalu mengerti dengan keadaanku seperti ini. Senja akan
segera berlalu. Semoga dilema saat ini menjadikanku manusia yang terus
bisa berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar