Tulisan Oleh : Fitry Firlia Sari
Sejarah selalu menceritakan kepada kitaWalaupun Negara ini besarNamun kehidupan kami sangatkecilKerena kami hanya merasaamanDi gelembung masing-masing……
Jika kita melihat kembali catatan sejarah perjalanan kehidupan umat manusia, sejak bertahun-tahun bahkan berangkat dari beberapa abad silam, wanita mana pun selalu memiliki sekat dengan pria dengan alasan perbedaan alamiah dan pemberian citra sebagai kaum ibu semata yang berada di bawah kungkungan
kaum laki-laki. Dalam berbagai sudut pandang perempuan acapkali dianggap sebagai kaum “Lemah” dan hanya bisa berlindung di bawah ketiak laki-laki si kaum “penguasa”. Namun dalam pembahasan kali ini kita tidak membahas mengenai diskriminasi gender dalam Bibel di Amerika, perbudakan perempuan di India seperti yang
diutarakan seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India bernama Mahatma Ghandi dalam bukunya yang berjudul “Kaum perempuan dan ketidakadilan sosial” ataupun beberapa kasus penindasan kaum perempuan di Negara-negara lain. Namun kita akan lebih banyak membahas mengenai beberapa rentetan masalah pengalaman masa lalu dan ketidakberdayaan “Kaum mayoritas tertindas” si kaum perempuan yang terjadi Di Negara kita sendiri, yaitu INDONESIA yang
katanya “Tercinta”. Sebelum kita terjerumus dalam perdebatan mengenai kesenjangan gender yang tak jelas ujung pangkalnya, marilah kita terlebih dahulu menyimak beberapa hal yang akan menjadi pusat pembahasan kita kali ini.
Dalam tataran lebih dalam atau pada tataran khazanah nirsadar kolektif, kaum perempuan di Indonesia sebenarnya mengalami banyak pengalaman kuno atau dalam bahasa psikoterapi disebut Archeid. Pengalaman kuno disini yang dimaksudkan adalah hidup yang kurang melindungi martabat atau melindungi kehidupan. Intinya tidak menghargai kehidupan.
Mengingat Zaman Orde Baru, jejak kekerasan terhadap perempuan dengan latar politik membentang terutama di daerah-daerah konflik. Di Aceh, Timor Leste,
hingga Papua, berderet kisah menyesakkan, paraperempuan yang dilecehkan,
diperkosa tentara dan ditinggal begitu saja. Tak terhitung pula yang akhirnya dibunuh guna menutup rapat bau anyir kekejaman ini. Belum kering dari ingatan kita, perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, sebagaimana hasil penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), yakni tim penyelidik yang dibentuk untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Para korban ini harus memikul luka batin yang begitu dahsyat, sepanjang hidupnya. Tak terbayangkan pula goresan luka yang dialami para aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang dituding oleh rezim Orde Baru terlibat dalam Gerakan 30 September yang
membunuhi jenderal-jenderal. Mereka disiksa dan dilecehkan bahkan Salah seorang yang
bersikukuh menolak fitnah tersebut, dihajarhabis-habisan.
Demikian lukisan Beberapa rentetan kasus penindasan yang membabi buta terhadap kaum perempuan seperti yang dijelaskan diatas bukanlah hal sepele yang mungkin telah dilupakan oleh sebagian orang. Inilah catatan fakta sejarah yang tak akan pernah terlupakan dalam benak kita khususnya bagi kaum perempuan.
Indonesia telah lama merdeka, yang menurut kamus ensiklopedi THE NEW YORK STRAIT
TIMES bahwa Kemerdekaan
(Independence) berarti: keadaan bebas dari penghambaan. Kemudian timbul sebuah pertanyaan“ Benarkah kita telah seutuhnya merdeka? Jawabannya adalah jika kemerdekaan itu hanya dinikmati sebagian orang saja sedang yang lain masih dibawah tekanan dan penindasan, itu bukanlah sebuah “Kemerdekaan” melainkan
“Penjajahan”. Maksud kasarnya adalah“ Kemerdekaan buat yang laki-laki dulu aja yah, mengenai perempuan dan embel-embelnya nanti gampanglah !!”. Mereka lupa bahwa kaum perempuan juga dulunya berada di garis depan untuk melawan colonial dalam mencapai Kemerdekaan !! Jika ditinjau dari hasil pengamatan diatas, jelaslah sekarang bahwa pembatasan hak, penekanan, dan penindasan terhadap kaum perempuan yang tak kunjung usai tak ubahnya seperi “Penjajahan yang terulang”.
Pengalaman kuno yang dipenuhi intrik,
penindasan, dan penguasaan terhadap kaum perempuan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya Gerakan
feminisme yang diadopsi dari Eropa. Gerakan feminisme di Indonesia adalah
gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antarsesama manusia
yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil tanpa pembatasan hak bahkan
dalam perpolitikan sekalipun. Gerakan feminisme bukannya gerakan untuk
menyerang laki-laki yang selama ini menjadi alasan bagi kaum laki-laki untuk menolak
Feminisme. Akan tetapi Feminisme merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem
yang tidak adil dari sistem patriarki. Gerakan perempuan ini merupakan gerakan
tranformasi sosial yang bersifat luas,
yang merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk
ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku
dimasyarakat. Perlu kita ketahui bersama bahwa perempuan adalah bagian dari
negara iniyang dalam artian bahwa perempuan juga harus merasa “ MERDEKA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar